https://kabarpetang.com/ Setiap bahasa adalah lensa yang unik untuk melihat dunia. Ia bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga penyimpan nilai, cerita, dan identitas suatu masyarakat. Di Indonesia, ribuan bahasa daerah hidup berdampingan sejak zaman nenek moyang. Namun kini, di era globalisasi dan digitalisasi, banyak di antaranya mulai kehilangan penutur—perlahan tapi pasti.
Di rumah-rumah urban, anak-anak lebih fasih berbahasa Indonesia atau bahkan Inggris daripada bahasa ibu mereka. Sekolah, media, dan internet mempercepat pergeseran ini. Bahasa daerah makin dianggap kuno, tidak relevan, bahkan malu untuk dipakai.
Angka yang Mengkhawatirkan
Menurut data dari Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, dari lebih dari 700 bahasa daerah yang ada di Indonesia, hampir separuh terancam punah. Beberapa bahkan sudah tidak lagi memiliki penutur aktif, hanya tersisa dalam bentuk dokumentasi linguistik.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di seluruh dunia, UNESCO mencatat bahwa satu bahasa punah setiap dua minggu. Artinya, warisan budaya satu komunitas bisa hilang dalam waktu sekejap, tergilas oleh arus dominasi bahasa-bahasa global seperti Inggris, Mandarin, atau Spanyol.
Mengapa Bahasa Daerah Penting?
- Penanda Identitas Budaya
Bahasa mencerminkan cara berpikir, nilai sosial, dan kearifan lokal suatu komunitas. Kehilangannya berarti kehilangan bagian penting dari jati diri bangsa. - Kekayaan Ilmu Pengetahuan Tradisional
Dalam bahasa lokal tersimpan pengetahuan tentang alam, obat-obatan tradisional, pertanian, dan sistem kepercayaan yang tidak tercatat secara tertulis. - Alat Koneksi Antargenerasi
Bahasa daerah adalah penghubung antara kakek-nenek dan cucu. Jika bahasa ini hilang, maka dialog lintas generasi pun ikut memudar. - Variasi Linguistik sebagai Kekayaan Dunia
Keanekaragaman bahasa dunia menciptakan perspektif unik dalam sastra, musik, dan cara pandang terhadap kehidupan. Dunia akan jadi lebih monoton jika hanya sedikit bahasa yang digunakan.
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kepunahan Bahasa
1. Urbanisasi dan Migrasi
Penduduk desa pindah ke kota dan tidak lagi menggunakan bahasa lokal karena dianggap tidak praktis atau bahkan dianggap “kampungan.”
2. Tekanan Sosial dan Politik
Beberapa bahasa daerah tidak diakui secara resmi, sehingga tidak diajarkan di sekolah dan tidak digunakan di ruang publik.
3. Kurangnya Dukungan Teknologi
Konten digital (seperti video YouTube, aplikasi, media sosial) lebih banyak tersedia dalam bahasa Indonesia atau asing, bukan dalam bahasa lokal.
4. Kurangnya Kebanggaan Lokal
Generasi muda sering kali merasa malu atau rendah diri jika menggunakan bahasa ibu mereka, terutama di hadapan orang dari luar komunitas.
Kisah dari Lapangan: Bahasa yang Nyaris Hilang
Bahasa Kajang (Sulawesi Selatan)
Di pedalaman Sulawesi, Bahasa Kajang hanya digunakan oleh segelintir masyarakat adat Ammatoa. Anak-anak muda lebih memilih Bahasa Bugis atau Indonesia karena lebih praktis. Meski komunitas adat masih melestarikannya, tekanan modernisasi mulai terasa.
Bahasa Saponi (Papua)
Bahasa Saponi di Papua bahkan masuk kategori kritis. Berdasarkan laporan linguistik, penuturnya hanya tinggal belasan orang—semuanya sudah lansia. Tanpa intervensi segera, bahasa ini akan punah dalam satu generasi.
Upaya Pelestarian: Apa yang Bisa Dilakukan?
1. Revitalisasi di Sekolah
Mengintegrasikan pelajaran bahasa daerah dalam kurikulum lokal, terutama di tingkat SD. Anak-anak diajak belajar lewat lagu, cerita rakyat, dan permainan tradisional.
2. Digitalisasi Bahasa
Membuat aplikasi pembelajaran, kamus daring, atau media sosial dalam bahasa lokal. Teknologi bisa jadi teman, bukan musuh.
3. Kampanye Kebanggaan Bahasa Ibu
Mengubah persepsi bahwa bahasa daerah adalah aset, bukan beban. Festival budaya, lomba pidato, dan konten kreatif bisa menjadi sarana promosi.
4. Keterlibatan Komunitas
Pelestarian paling efektif dimulai dari akar. Keluarga, sanggar budaya, dan tokoh adat berperan penting sebagai penjaga bahasa.
Generasi Muda dan Harapan Baru
Meski banyak bahasa lokal terancam punah, harapan belum padam. Kini mulai bermunculan inisiatif anak muda yang bangga menggunakan bahasa ibunya dalam konten digital. Misalnya:
- YouTuber yang membuat vlog dengan logat daerah
- Komik online berbahasa Sunda atau Jawa
- Podcast berbahasa Minangkabau
Upaya ini menunjukkan bahwa bahasa lokal bisa hidup berdampingan dengan zaman, asalkan diberikan ruang yang kreatif dan inklusif.
Penutup: Menjaga Bahasa, Menjaga Warisan
Bahasa daerah bukan hanya milik masa lalu. Ia adalah jembatan menuju masa depan yang lebih beragam dan inklusif. Kehilangannya bukan hanya kerugian linguistik, tetapi juga hilangnya cara lain melihat dan memahami dunia.
Menjaga bahasa lokal adalah bentuk penghormatan terhadap leluhur, bentuk cinta kepada tanah air, dan bentuk tanggung jawab untuk generasi mendatang. Di tengah dunia yang makin seragam, keberagaman bahasa adalah kekayaan yang tak ternilai.
Mari kita ajarkan kembali bahasa ibu kepada anak-anak kita. Mari kita gunakan, meskipun pelan dan terbata. Karena dari satu kata yang terucap, satu budaya tetap hidup.
Baca juga https://dunialuar.id/