https://kabarpetang.com/ Nikah siri, atau pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatat oleh negara, merupakan praktik yang masih sering dijumpai di Indonesia. Meski memiliki dasar hukum agama, status hukum nikah siri di mata negara masih menjadi perdebatan. Lebih menarik lagi, praktik ini menimbulkan persepsi yang sangat berbeda antara masyarakat urban dan rural.
Artikel ini akan membedah bagaimana perbedaan latar sosial, budaya, dan akses informasi memengaruhi cara masyarakat memandang nikah siri.
Apa Itu Nikah Siri?
Secara sederhana, nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan berdasarkan syariat agama, namun tidak dicatat secara resmi dalam sistem administrasi negara (KUA atau Catatan Sipil). Konsekuensinya:
- Tidak ada akta nikah
- Tidak tercatat dalam dokumen negara
- Tidak ada perlindungan hukum secara sipil, terutama bagi perempuan dan anak
Meski dianggap sah secara agama, nikah siri menyisakan banyak ketimpangan dan kerentanan hukum.
Perspektif Masyarakat Rural (Desa)
Di banyak wilayah pedesaan, nikah siri lebih diterima karena:
- Kedekatan dengan norma agama dan adat
- Biaya pernikahan yang rendah
- Fleksibilitas dalam menghindari birokrasi
- Pandangan bahwa sah secara agama sudah cukup
Stigma sosial terhadap nikah siri juga relatif lebih rendah, terutama jika dilakukan oleh tokoh agama atau masyarakat yang disegani. Bahkan, dalam beberapa konteks, nikah siri dianggap solusi dari masalah tertentu, seperti:
- Janda/duda yang ingin menikah tanpa sorotan
- Pernikahan poligami
- Pasangan yang ingin menjaga privasi
Perspektif Masyarakat Urban (Kota)
Di lingkungan urban, pandangan terhadap nikah siri cenderung lebih kritis:
- Dianggap tidak memberi kepastian hukum
- Identik dengan relasi yang tidak setara, terutama untuk perempuan
- Dianggap sebagai bentuk penghindaran tanggung jawab
- Sering dikaitkan dengan praktik poligami tanpa persetujuan istri pertama
Stigma sosial di kota lebih kuat karena:
- Kesadaran hukum dan hak individu lebih tinggi
- Keterbukaan terhadap isu kesetaraan gender
- Persepsi bahwa pernikahan harus legal dan tercatat
Di kota, perempuan yang menikah siri lebih sering mendapat tekanan sosial atau dianggap “korban”.
Implikasi Hukum dan Sosial
Tanpa pencatatan resmi:
- Istri tidak berhak atas nafkah dan warisan secara hukum
- Anak tidak mendapat status hukum dari ayahnya
- Sulit menuntut hak jika terjadi perceraian atau kekerasan dalam rumah tangga
Akibatnya, nikah siri sering kali menempatkan perempuan dalam posisi yang rentan, apalagi jika tidak didukung oleh kesepakatan yang adil.
Antara Privasi dan Kepentingan Publik
Bagi sebagian pasangan, nikah siri adalah bentuk privasi dan kebebasan memilih. Tapi, di sisi lain, ketika muncul konflik atau ketidakadilan, negara sulit memberikan perlindungan karena tidak ada data resmi.
Ini menimbulkan dilema: apakah negara harus menghormati pilihan pribadi, atau melindungi hak warga negara lewat regulasi yang lebih ketat?
Peran Agama, Negara, dan Edukasi
Untuk menjembatani perbedaan ini, perlu:
- Edukasi hukum dan kesadaran hak, terutama bagi perempuan
- Peran aktif tokoh agama untuk menjelaskan dampak nikah siri
- Dukungan dari negara untuk memperluas akses pencatatan pernikahan, terutama di wilayah terpencil
Kesimpulan
Nikah siri bukan sekadar soal status sah atau tidak. Ia berada di persimpangan antara tradisi, agama, dan modernitas. Di desa, ia bisa menjadi jalan keluar; di kota, ia bisa menjadi masalah baru.
Yang terpenting adalah: setiap pasangan perlu memahami konsekuensi jangka panjang dari pilihan ini, baik secara hukum, sosial, maupun emosional. Dan masyarakat perlu berhenti melihat nikah siri secara hitam-putih—karena setiap kasus punya konteks yang berbeda.
Baca juga https://dunialuar.id/