Dalam beberapa dekade terakhir, keterlibatan perempuan dalam dunia politik telah menunjukkan kemajuan yang berarti. Namun, pertanyaan penting tetap menggantung: apakah keterwakilan perempuan di politik benar-benar meningkat secara signifikan, atau justru mengalami stagnasi?
Untuk menjawabnya, kita perlu melihat data, tantangan yang dihadapi, serta prospek ke depan.
Kilas Balik: Perjuangan Panjang Menuju Kursi Politik
Sejarah mencatat bahwa perempuan harus berjuang keras untuk memperoleh hak politik, termasuk hak memilih dan dipilih.
Mulai dari gerakan suffragette di awal abad ke-20 hingga berbagai kampanye modern untuk kesetaraan politik, perempuan telah membuktikan ketangguhan mereka dalam memperjuangkan suara di arena kekuasaan.
Di banyak negara, reformasi hukum telah membuka pintu bagi partisipasi perempuan. Namun, hukum saja tidak cukup. Budaya patriarkis, norma sosial, dan hambatan struktural tetap menjadi dinding tinggi yang sulit ditembus.
Data Global: Ada Kenaikan, Tapi…
Menurut laporan UN Women dan Inter-Parliamentary Union (IPU), per Maret 2024, rata-rata keterwakilan perempuan di parlemen nasional dunia mencapai sekitar 26,7%.
Beberapa negara bahkan menunjukkan angka yang mengesankan:
- Rwanda memimpin dengan lebih dari 60% anggota parlemen perempuan.
- Finlandia, Swedia, dan Meksiko juga mencatat angka lebih dari 45%.
Namun, banyak negara lain — termasuk negara maju — masih mencatatkan angka keterwakilan di bawah 30%. Bahkan ada negara yang keterwakilan perempuannya masih di bawah 10%.
Kesimpulannya: Ya, ada kemajuan, tapi pertumbuhannya lambat dan tidak merata.
Faktor Pendukung Keterlibatan Perempuan
Beberapa faktor yang mendorong peningkatan keterwakilan perempuan antara lain:
- Kebijakan Kuota Gender:
Beberapa negara mengadopsi kuota wajib untuk jumlah calon legislatif perempuan, seperti di Argentina dan Tunisia. - Gerakan Sosial dan Kampanye Global:
Kampanye seperti #SheShouldRun atau #WomenInPolitics mendorong perempuan untuk maju ke panggung politik. - Peningkatan Kesadaran Pendidikan:
Pendidikan politik untuk perempuan muda mendorong keberanian mereka terjun ke dunia pemerintahan. - Role Model yang Inspiratif:
Tokoh-tokoh seperti Jacinda Ardern, Angela Merkel, dan Kamala Harris membuktikan bahwa kepemimpinan perempuan bisa membawa perubahan besar.
Tantangan yang Masih Membelenggu
Meskipun ada berbagai faktor pendukung, perempuan tetap menghadapi hambatan besar, di antaranya:
- Stereotip Gender:
Banyak yang masih menganggap kepemimpinan adalah domain laki-laki. - Kekerasan Politik berbasis Gender:
Ancaman, pelecehan, bahkan kekerasan fisik sering menimpa perempuan yang aktif dalam politik. - Beban Ganda:
Perempuan masih dibebani tanggung jawab domestik yang berat, sehingga sulit sepenuhnya fokus di karier politik. - Akses Finansial:
Politik membutuhkan modal besar. Sayangnya, perempuan sering kali memiliki akses terbatas ke sumber daya finansial untuk kampanye.
Semua ini menunjukkan bahwa meskipun pintu sudah terbuka, jalan menuju kursi kekuasaan masih penuh rintangan.
Apakah Kehadiran Perempuan Membuat Perbedaan?
Berbagai studi menunjukkan bahwa kehadiran perempuan dalam politik membawa perspektif baru yang memperkaya pengambilan keputusan.
Perempuan cenderung:
- Memprioritaskan isu-isu seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.
- Lebih kolaboratif dalam kepemimpinan dan membangun konsensus.
- Lebih memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas dan marginal.
Keberadaan perempuan dalam posisi pengambil keputusan bukan hanya tentang keadilan, tapi juga tentang meningkatkan kualitas demokrasi itu sendiri.
Perempuan dalam Politik di Indonesia: Bagaimana Posisinya?
Di Indonesia, keterwakilan perempuan di DPR pada Pemilu 2019 mencapai 20,5% — naik dibandingkan pemilu sebelumnya, tetapi masih jauh dari target 30% yang dicanangkan.
Upaya mendorong lebih banyak perempuan di politik Indonesia meliputi:
- Penerapan kuota 30% caleg perempuan.
- Program pelatihan kepemimpinan untuk kader perempuan.
- Dorongan dari organisasi masyarakat sipil untuk meningkatkan literasi politik gender.
Namun, masih banyak tantangan, termasuk resistensi internal partai politik dan budaya maskulin di dunia politik nasional.
Masa Depan: Optimisme atau Pesimisme?
Melihat tren global dan lokal, ada alasan untuk optimis, tapi juga perlu realistis.
Optimisme:
- Generasi muda, terutama Gen Z, lebih sadar akan pentingnya kesetaraan gender.
- Perempuan semakin berani tampil di berbagai panggung politik.
- Media sosial membuka ruang baru untuk perempuan membangun jejaring politik.
Kewaspadaan:
- Tanpa perubahan budaya mendalam, kebijakan formal seperti kuota tidak akan cukup.
- Tantangan politik identitas dan polarisasi bisa menghambat kemajuan keterwakilan perempuan.
Kesimpulan
Keterlibatan perempuan dalam dunia politik memang meningkat, tetapi secara keseluruhan, kemajuan itu masih belum cukup cepat dan merata.
Banyak rintangan yang perlu diatasi — dari hambatan struktural hingga bias budaya.
Keterwakilan perempuan bukan sekadar angka, melainkan penentu kualitas demokrasi dan keadilan sosial.
Kita semua — baik perempuan maupun laki-laki — bertanggung jawab untuk menciptakan ruang politik yang inklusif, adil, dan penuh kesempatan bagi semua.
Karena politik yang sehat adalah politik yang menghadirkan semua suara, tanpa kecuali.
Saatnya memperjuangkan politik yang lebih setara — bukan esok, tapi mulai hari ini. ✨
Bca juga Artikel lainnya Berita Hari Ini