, , , ,

Sejarah Serikat Buruh di Indonesia: Dari Kolonial ke Digital

oleh -23 Dilihat
sejarah buruh
sejarah buruh
banner 468x60

https://kabarpetang.com/ Serikat buruh adalah bagian penting dalam sejarah perjuangan hak-hak pekerja. Di Indonesia, perjalanannya dimulai sejak masa kolonial Belanda, berkembang pesat di masa kemerdekaan, sempat ditekan di era Orde Baru, dan kini kembali bangkit melalui media sosial serta platform digital.

Kisah panjang ini bukan hanya soal unjuk rasa dan mogok kerja. Ia mencerminkan dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang membentuk wajah ketenagakerjaan Indonesia hari ini.

banner 336x280

Awal Mula: Benih Perlawanan di Era Kolonial

Perjuangan buruh di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks kolonialisme Belanda. Saat itu, pekerja pribumi banyak dieksploitasi di sektor perkebunan, tambang, dan transportasi. Gaji rendah, jam kerja panjang, dan tidak adanya jaminan sosial adalah kondisi umum.

Pada awal 1900-an, muncul organisasi seperti:

  • Sarekat Islam (1905) – meski fokus awalnya bukan buruh, organisasi ini menjadi wadah bagi pekerja untuk menyuarakan ketidakadilan.
  • Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) – cikal bakal Partai Komunis Indonesia yang memperjuangkan hak kelas pekerja.
  • Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (1919) – organisasi pegawai yang merupakan salah satu bentuk awal serikat buruh formal.

Gerakan buruh mulai terorganisir, dan pemogokan massal menjadi senjata mereka untuk menuntut perbaikan.


Masa Kemerdekaan: Serikat Buruh Menjadi Pilar Perjuangan

Pasca-kemerdekaan 1945, semangat perjuangan buruh mendapat tempat lebih luas. Negara yang baru merdeka membutuhkan tenaga kerja, dan buruh menjadi kekuatan politik yang mulai diperhitungkan.

Beberapa perkembangan penting:

  • FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) menjadi organisasi payung berbagai serikat buruh.
  • Banyak serikat buruh berafiliasi dengan partai politik, terutama PKI dan PNI.
  • Tahun 1950-an hingga 1960-an menjadi masa keemasan gerakan buruh.

Namun, konflik ideologis antara kelompok nasionalis, komunis, dan Islam membuat pergerakan buruh terpecah. Situasi memuncak pasca-peristiwa G30S 1965.


Orde Baru: Serikat Dibungkam dan Dimonopoli

Setelah Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, pemerintah memusatkan semua aktivitas buruh ke dalam satu organisasi resmi: SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).

Ciri-ciri masa ini:

  • Tidak ada ruang bagi serikat buruh independen.
  • Aktivitas buruh dikendalikan dan diawasi negara.
  • Pemogokan dianggap mengganggu stabilitas nasional.
  • Buruh tidak memiliki kebebasan bersuara.

Selama lebih dari 30 tahun, suara buruh teredam. Hubungan industrial sangat menguntungkan pemilik modal, sementara buruh hanya menjadi alat produksi.


Reformasi 1998: Kebebasan Berserikat Kembali

Reformasi membuka kembali ruang demokrasi. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja memberikan legalitas bagi berdirinya banyak serikat buruh independen.

Dampak langsung:

  • Lahirnya serikat seperti FSPMI, KASBI, SBSI, dan lainnya.
  • Aksi unjuk rasa buruh meningkat, terutama soal upah dan jaminan kerja.
  • Buruh mulai terlibat dalam pembuatan undang-undang dan dialog tripartit.

Namun, tantangan muncul: terlalu banyak serikat buruh yang terfragmentasi, tidak bersatu dalam agenda nasional. Solidaritas melemah, efektivitas menurun.


Era Digital: Aktivisme Buruh Masuk ke Media Sosial

Memasuki era 2010-an, serikat buruh mulai memanfaatkan media sosial dan platform digital sebagai alat perjuangan. Facebook, Twitter (X), Instagram, hingga TikTok kini digunakan untuk:

  • Menyebarkan informasi dan ajakan aksi
  • Menggalang solidaritas antarpekerja lintas sektor
  • Mengkritisi kebijakan pemerintah secara terbuka
  • Membangun jejaring dengan aktivis internasional

Contoh paling nyata adalah penolakan UU Cipta Kerja (Omnibus Law), di mana aktivisme digital memainkan peran besar dalam menyatukan suara buruh, mahasiswa, dan masyarakat sipil.


Serikat Buruh di Tengah Gig Economy dan Pekerjaan Digital

Tantangan baru muncul dari gig economy dan platform kerja digital seperti Gojek, Grab, Shopee, Tokopedia, hingga freelancer marketplace. Para pekerja ini:

  • Tidak memiliki status pekerja tetap
  • Tidak terikat dalam perlindungan hukum buruh formal
  • Tidak memiliki serikat atau perwakilan kolektif
  • Terdorong menjadi “wirausaha” meski faktanya bekerja penuh

Serikat buruh harus bertransformasi untuk menjangkau pekerja digital ini. Sudah mulai muncul inisiatif seperti Serikat Pekerja Lintas Platform, namun belum masif.


Tantangan Serikat Buruh Masa Kini

  1. Fragmentasi dan ego sektoral
    Terlalu banyak serikat buruh membuat perjuangan tidak solid.
  2. Kurangnya regenerasi kader
    Anak muda kurang tertarik terlibat dalam gerakan buruh.
  3. Ketergantungan pada pola aksi lama (demo, mogok kerja)
    Padahal dibutuhkan strategi negosiasi, advokasi hukum, dan digital campaign.
  4. Keterbatasan akses teknologi
    Masih banyak buruh yang belum paham literasi digital untuk ikut gerakan daring.

Harapan dan Masa Depan Serikat Buruh

Serikat buruh di Indonesia masih sangat relevan, bahkan makin penting di tengah ketidakpastian ekonomi dan ancaman otomatisasi. Untuk bertahan dan berkembang, mereka perlu:

  • Menggabungkan strategi konvensional dengan alat digital
  • Menjangkau sektor pekerja informal dan digital
  • Membangun solidaritas lintas industri dan lintas generasi
  • Menjadi pusat pendidikan politik dan hukum bagi pekerja muda

Penutup: Dari Jalanan ke Jaringan

Dulu, serikat buruh turun ke jalan dengan poster dan toa. Kini, mereka juga turun ke jaringan dengan tagar dan live streaming. Dari masa kolonial hingga era digital, perjuangan buruh terus menyesuaikan bentuk—tapi esensinya tetap sama: memperjuangkan keadilan dan martabat pekerja.

Serikat buruh bukan sisa masa lalu. Ia adalah alat masa depan — jika mampu beradaptasi.

Baca juga https://dunialuar.id/

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.