https://kabarpetang.com/ Pernahkah kamu merasa tidak nyaman ketika seseorang berkata, “Ayo semangat terus!” padahal kamu sedang dalam keadaan terpuruk? Atau ketika kamu mencoba mengungkapkan kesedihan, malah dibalas dengan, “Jangan mikir negatif, semua akan baik-baik saja”?
Ucapan tersebut terdengar positif. Namun, jika tidak disampaikan pada waktu dan konteks yang tepat, bisa jadi bentuk dari toxic positivity—sebuah sikap yang tampaknya baik, tetapi justru mengabaikan dan menekan emosi manusia yang alami.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah kecenderungan untuk hanya fokus pada emosi positif dan menolak, meminimalkan, atau mengabaikan emosi negatif, bahkan dalam situasi yang membutuhkan empati dan pengakuan atas perasaan sulit.
Ini bukan berarti kita tidak boleh berpikir positif. Tapi ketika positivitas digunakan untuk menyangkal realita emosi, terutama yang menyakitkan, di situlah letak bahayanya.
Contoh Kalimat Toxic Positivity
Beberapa ungkapan yang sering dianggap “menyemangati” tapi bisa menyakiti:
- “Setidaknya kamu masih beruntung dibanding orang lain.”
- “Semua ada hikmahnya, jangan sedih terus.”
- “Yang sabar, jangan nangis dong.”
- “Pikiran positif aja biar nggak stres.”
- “Gagal itu biasa, jangan lebay.”
Kalimat ini mungkin dimaksudkan untuk menenangkan, tapi sering kali membuat orang merasa tidak boleh merasakan kesedihan, kecewa, atau marah.
Dampak Buruk Toxic Positivity
1. Penolakan terhadap emosi diri
Orang jadi belajar untuk memendam emosi negatif dan tidak mengizinkan dirinya merasa sedih atau kecewa.
2. Merasa terisolasi
Alih-alih merasa didukung, seseorang bisa merasa sendirian karena pikirannya dianggap “tidak positif”.
3. Tekanan sosial untuk selalu terlihat kuat
Toxic positivity menciptakan budaya palsu di mana orang dipaksa terlihat bahagia atau kuat, bahkan saat menderita di dalam.
4. Menghambat proses penyembuhan
Mengabaikan rasa sakit justru bisa memperlambat pemulihan emosional. Seperti luka fisik, emosi negatif juga butuh waktu untuk sembuh.
Penyebab Budaya Toxic Positivity
1. Media Sosial
Platform seperti Instagram dan TikTok sering dipenuhi unggahan motivasi dan kebahagiaan. Realita hidup yang rumit jadi tampak tidak ada tempatnya.
2. Budaya “harus kuat”
Banyak masyarakat kita menilai kelemahan emosional sebagai hal memalukan. Menangis dianggap lemah, mengeluh dianggap tidak bersyukur.
3. Industri self-help yang berlebihan
Beberapa ajaran pengembangan diri terjebak pada narasi “kebahagiaan mutlak”, yang menekankan bahwa hidup adalah soal mindset positif, tanpa ruang untuk kegagalan dan duka.
Bedakan: Positivity vs Toxic Positivity
Positivity Sehat | Toxic Positivity |
---|---|
Mengakui kesedihan, tapi tetap berharap | Menolak perasaan negatif sepenuhnya |
Menyemangati dengan empati | Menyemangati tanpa mendengar |
Mendorong proses penyembuhan | Memaksa untuk “cepat move on” |
Menerima kenyataan pahit | Mengabaikan kenyataan demi senyum |
Cara Menghadapi Toxic Positivity
1. Validasi Emosi Sendiri
Akui perasaan yang kamu alami. Tidak apa-apa untuk kecewa, marah, atau merasa lelah. Semua itu bagian dari kemanusiaan.
2. Berani Menolak Narasi Palsu
Jika ada orang yang memaksakan positivity, kamu bisa bilang dengan halus:
“Saat ini aku butuh didengar dulu, bukan disemangati.”
3. Berikan Dukungan yang Empatik
Jika kamu menemani orang lain yang sedang kesulitan, ucapkan kalimat seperti:
- “Aku nggak bisa bayangin seberat apa rasanya, tapi aku ada di sini.”
- “Nggak apa-apa kalau kamu sedih. Aku dengerin, ya.”
- “Kalau kamu butuh teman cerita, kabari aku kapan pun.”
4. Pelajari Literasi Emosi
Pahami bahwa semua emosi, baik maupun buruk, punya peran. Marah bisa jadi alarm batasan. Sedih bisa jadi sinyal kehilangan yang perlu dirawat.
5. Jangan Terburu-buru Menyemangati
Tahan keinginan untuk langsung memberi solusi atau semangat. Kadang, diam dan hadir jauh lebih menyembuhkan daripada seribu kata motivasi.
Kapan Positivity Menjadi Kekuatan?
Positivity bukan hal buruk—selama ia tidak menekan realitas emosi manusia. Saat dilakukan dengan sadar, positivity bisa menjadi kekuatan besar untuk bangkit dari keterpurukan.
Kuncinya adalah mengizinkan diri merasa terlebih dahulu, lalu perlahan menyusun harapan.
“Kita tidak harus selalu bahagia untuk menjadi orang yang kuat. Mengakui kesedihan pun adalah bentuk keberanian.”
Penutup
Toxic positivity sering disalahartikan sebagai bentuk kepedulian, padahal bisa merusak secara emosional. Di dunia yang terus mendorong kita untuk “selalu bahagia”, mari ciptakan ruang untuk jujur terhadap perasaan sendiri dan orang lain.
Karena menjadi manusia bukan berarti selalu kuat—tapi berani rapuh, dan pulih secara perlahan.
Baca juga https://dunialuar.id/