, , , , , , , ,

Dzikir dan Meditasi Debut Festival Penglipuran: Harmoni Alam dan Jiwa Desa

oleh -26 Dilihat
dzikir dan meditasi
dzikir dan meditasi
banner 468x60

I. Pengantar: Desa Adat dalam Lintasan Zaman

https://kabarpetang.com/ Desa Penglipuran, yang terletak di Kabupaten Bangli, Bali, selama ini dikenal sebagai salah satu desa adat paling lestari di Indonesia. Arsitektur tradisional yang tertata rapi, pola kehidupan komunal, dan kebersihan lingkungannya menjadikan desa ini simbol kehidupan harmonis antara manusia dan alam.

Namun tahun ini, ada sesuatu yang berbeda. Festival Penglipuran 2025 tak hanya menyuguhkan kesenian Bali seperti gamelan dan tari tradisional, tetapi juga menyisipkan sesuatu yang mengejutkan—praktik dzikir dan meditasi terbuka yang diikuti oleh ratusan orang, dari berbagai latar belakang agama dan budaya. Sebuah kolaborasi spiritual lintas tradisi yang langka, sekaligus menggugah.

banner 336x280

II. Festival Penglipuran 2025: Simfoni Budaya dan Spiritualitas

Tahun ini, tema besar Festival Penglipuran adalah:
“Nyapuh Jiwa, Nyepuh Alam”
(Membersihkan Jiwa, Menyepuh Alam)

Tema tersebut diwujudkan dalam serangkaian acara yang menggabungkan seni, lingkungan, dan spiritualitas. Selain pawai budaya, pertunjukan wayang, dan lomba kuliner tradisional, panitia menyisipkan dua sesi unik: Dzikir Alam dan Meditasi Senyap, yang digelar pada pagi dan sore hari selama tiga hari berturut-turut.

Lokasi pelaksanaan pun dipilih secara simbolik: di pelataran hutan bambu yang mengelilingi desa, tempat di mana masyarakat Penglipuran selama ratusan tahun menjaga harmoni ekosistemnya.


III. Dzikir di Tengah Hutan Bambu: Getar Nurani Nusantara

Pada hari pertama, usai matahari terbit, suara dzikir menggema dari sisi timur hutan bambu. Suara tasbih dan tahmid terdengar lembut, berpadu dengan gemerisik dedaunan dan kicauan burung. Para peserta, baik warga lokal maupun pengunjung dari luar Bali, duduk bersila dalam lingkaran besar.

Uniknya, dzikir ini dipimpin oleh tokoh agama Islam lokal dari Lombok yang sudah lama aktif dalam gerakan lintas iman di kawasan timur Indonesia. Ia mengajak peserta untuk memaknai dzikir bukan sekadar ibadah verbal, tetapi sebagai wujud penyatuan kesadaran terhadap semesta.

“Dzikir bukan hanya menyebut nama Allah, tapi juga menyadari nafas, tubuh, dan bumi yang memeluk kita,” ucapnya dalam pengantar.

Tak ada ceramah panjang. Hanya kesunyian, alunan tasbih, dan kehadiran alam yang menyatukan. Warga Hindu Bali yang menyaksikan tak merasa terganggu. Beberapa bahkan ikut duduk, menyimak, atau melakukan mantram dalam diam.


IV. Meditasi Senyap: Menyatu dengan Getar Semesta

Sesi meditasi di sore hari diselenggarakan di area terbuka yang menghadap lereng Gunung Batur. Dipandu oleh praktisi meditasi dari Ubud yang sudah lama aktif dalam gerakan ekologi spiritual, sesi ini mengajak peserta untuk mengheningkan diri, melepaskan pikiran, dan hadir penuh dalam tubuh.

Berbeda dengan meditasi biasa, sesi ini menggabungkan elemen ritual Bali seperti tabuhan kecil, dupa, dan bunga kamboja. Ritual pembukaan dilakukan dengan pencucian kaki peserta menggunakan air bambu dan rempah—simbol pembersihan sebelum masuk ke ruang batin.

Selama hampir 40 menit, ratusan peserta terdiam dalam posisi duduk bersila, mata tertutup, dan hanya suara alam yang mengisi ruang.

Beberapa peserta mengaku menangis tanpa tahu sebab, merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar. “Saya merasa seperti kembali ke rahim bumi,” ujar Winda, peserta dari Jakarta.


V. Makna Simbolik: Dzikir dan Meditasi sebagai Jembatan

Festival ini tidak sekadar memasukkan dua praktik spiritual berbeda sebagai tontonan, melainkan menjadikannya jembatan antar budaya dan agama. Dzikir yang berasal dari tradisi Islam dan meditasi yang dekat dengan spiritualitas Timur (Hindu-Buddha) diletakkan dalam satu panggung pengalaman yang saling melengkapi.

Keduanya bertemu pada kesadaran yang sama: hening sebagai ruang bertemu jiwa dan semesta. Dzikir menghadirkan ritme suara batin, meditasi menawarkan keheningan mendalam. Dalam praktiknya, keduanya sama-sama menuntun manusia untuk menyadari kehadiran Ilahi dalam diri dan lingkungan.

Ini adalah bentuk nyata dialog spiritual Nusantara yang tak banyak kita saksikan secara terbuka.


VI. Reaksi dan Dampak

Respon terhadap sesi dzikir dan meditasi ini sangat positif:

  • Warga lokal Penglipuran merasa festival tahun ini lebih “dalam”, bukan hanya pesta budaya tetapi juga kontemplasi.
  • Pengunjung muda dari kota besar menyambutnya sebagai cara baru memaknai wisata budaya.
  • Tokoh lintas iman menyebutnya sebagai contoh harmoni dalam keberagaman.

Namun tidak semua pihak menyambut tanpa kritik. Beberapa kelompok agama konservatif menilai praktik ini sebagai “sinkretisme yang membingungkan.” Namun panitia menjelaskan bahwa kegiatan ini bersifat terbuka, tidak wajib diikuti, dan semata bentuk ekspresi batin yang universal.

Justru dari kritik inilah muncul diskusi publik yang lebih luas tentang makna spiritualitas yang inklusif, dan posisi budaya dalam merajut kohesi sosial di tengah perbedaan.


VII. Peluang Masa Depan: Menyulam Tradisi, Merawat Jiwa

Apa yang terjadi di Festival Penglipuran 2025 bisa menjadi awal bagi gerakan spiritualitas budaya baru di Indonesia. Bayangkan bila desa-desa adat di seluruh Nusantara mulai mengintegrasikan praktik kontemplatif—baik dari tradisi Islam, Hindu, Buddha, maupun lokal—dalam perayaan budaya mereka.

Kegiatan seperti ini bisa menjadi:

  • Wisata spiritual berbasis ekologi
  • Ruang rekonsiliasi batin pasca pandemi dan tekanan sosial
  • Cara baru menumbuhkan kesadaran akan lingkungan dan budaya lokal

Spiritualitas yang tidak dogmatis, tetapi melekat pada bumi, tubuh, dan relasi sosial, adalah jalan panjang menuju kematangan budaya Indonesia di masa depan.


Kesimpulan: Festival yang Menggetarkan Jiwa

Dzikir dan meditasi dalam Festival Penglipuran 2025 bukan hanya eksperimen artistik atau spiritual. Ia adalah pesan—bahwa dalam kesunyian, manusia bisa saling memahami. Bahwa dalam desa kecil di lereng Bali, Indonesia bisa menunjukkan wajah lain dari harmoni: bukan seragam, tapi selaras.

Ini bukan tentang menyamakan agama, tapi menemukan ruang batin yang sama-sama hening. Dan di sinilah, desa seperti Penglipuran tidak hanya melestarikan budaya, tapi juga merintis masa depan spiritualitas Nusantara yang lebih luas, lebih terbuka, dan lebih dalam.


Baca juga https://angginews.com/

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.