https://kabarpetang.com/ Generasi X Indonesia—mereka yang lahir kira-kira antara tahun 1965 hingga 1980—adalah generasi yang unik. Mereka dibesarkan di bawah kekuasaan Orde Baru, menyaksikan jatuhnya Soeharto, dan ikut menyambut euforia Reformasi. Dengan kata lain, mereka adalah saksi hidup dari dua sistem politik yang sangat berbeda.
Mereka tumbuh saat negara sangat mengontrol narasi, saat kritik bisa berujung penangkapan. Namun ketika menginjak usia dewasa muda, mereka melihat dinding ketakutan itu runtuh dan menyaksikan demokrasi merangkak bangkit. Maka, tidak heran jika memori politik generasi ini begitu kompleks, sarat nuansa antara trauma dan harapan.
Dibentuk oleh Ketertiban yang Dipaksakan
Orde Baru yang dipimpin Soeharto menekankan stabilitas, ketertiban, dan pembangunan ekonomi. Namun di balik jargon itu, negara juga membungkam kritik, mengontrol media, dan menanamkan ideologi tunggal.
Anak-anak Generasi X mengalami:
- Pelajaran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai doktrin wajib di sekolah
- Sensor media yang ketat, dari berita hingga film
- Kultus individu terhadap Soeharto, yang disebut “Bapak Pembangunan”
- Ketakutan terhadap kata ‘politik’, karena terasosiasi dengan subversi atau makar
Dalam lingkungan seperti ini, anak-anak Generasi X belajar bahwa diam adalah aman dan loyalitas pada negara adalah kebaikan tertinggi. Politik bukan ruang ekspresi, tapi wilayah berbahaya.
Tumbuh Bersama Ketegangan Sosial
Meski dibungkam, suara-suara kecil tetap muncul. Menjelang akhir 1980-an, beberapa mahasiswa mulai menyuarakan ketidakpuasan terhadap korupsi dan otoritarianisme.
Bagi Generasi X muda saat itu, hal-hal seperti:
- Pembatasan kebebasan pers (pembredelan Tempo, Editor, Detik pada 1994)
- Tragedi Kedung Ombo dan Marsinah
- Konflik SARA yang terselubung
- Ketimpangan ekonomi di akhir 1990-an
semua itu menanamkan benih kecurigaan terhadap narasi negara. Krisis moneter 1997-1998 dan ambruknya ekonomi menjadi momen pemantik.
Menjadi Dewasa di Tengah Revolusi
Bagi banyak Generasi X, usia 20-an mereka dihabiskan di tengah kobaran semangat Reformasi 1998. Mahasiswa turun ke jalan, elite politik runtuh, dan sensor dibuka. Itu adalah momen perubahan total.
Mereka yang sebelumnya takut berbicara politik, kini menjadi bagian dari percakapan nasional. Banyak dari mereka:
- Terlibat langsung dalam gerakan mahasiswa
- Mengelola media alternatif atau LSM
- Masuk ke parlemen atau birokrasi reformis
Namun ada juga yang skeptis, merasa Reformasi terlalu cepat, terlalu kacau, dan terlalu banyak janji kosong. Tidak sedikit yang mengalami disorientasi, dari sistem tertutup ke sistem yang sangat terbuka.
Ingatan Politik: Campuran Trauma dan Harapan
Hari ini, Generasi X menjadi tulang punggung masyarakat: mereka pemilik bisnis, pengelola media, guru, pemimpin politik, dan orang tua. Namun memori politik mereka tidak seragam.
Ada yang tetap idealis—berpegang pada semangat Reformasi. Ada pula yang merindukan “stabilitas Orde Baru”, merasa era kini terlalu gaduh, penuh konflik, dan nihil kepastian.
Memori mereka terbagi dalam dua sisi:
Orde Baru | Reformasi |
---|---|
Stabil tapi menindas | Bebas tapi kacau |
Terstruktur tapi tertutup | Terbuka tapi membingungkan |
Negara kuat | Negara lemah |
Dari sinilah lahir ambivalensi politik Generasi X—mereka mendambakan demokrasi, tapi juga menuntut keteraturan seperti dulu.
Generasi X dan Politik Hari Ini
Menariknya, meski tumbuh di masa transisi, Generasi X relatif lebih pasif dalam politik praktis dibanding Generasi Milenial atau Gen Z. Beberapa penyebabnya antara lain:
- Kejenuhan politik akibat Reformasi yang dianggap gagal memenuhi janji
- Pragmatisme karena tuntutan hidup ekonomi
- Trauma masa lalu yang membuat mereka enggan terlibat jauh dalam konflik ideologis
Namun banyak juga yang tetap berkontribusi dalam jalur non-partisan—aktivisme sosial, jurnalisme, pendidikan, hingga reformasi birokrasi.
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Memori Mereka?
- Kritik bisa lahir dari ketakutan. Generasi X mengajarkan bahwa pembungkaman tidak pernah benar-benar berhasil. Suara akan tetap mencari celah.
- Demokrasi butuh pendampingan jangka panjang. Reformasi bukan satu titik ledakan, tapi proses panjang yang tak bisa hanya dikerjakan satu generasi.
- Politik adalah soal memori kolektif. Setiap generasi membawa luka dan pelajaran. Generasi X menjadi jembatan antara yang “terlalu tertib” dan yang “terlalu bebas”.
Penutup: Menjaga Ingatan, Merawat Demokrasi
Generasi X adalah pengingat bahwa perubahan besar selalu dimulai dari keresahan kecil. Mereka tahu seperti apa hidup di bawah kontrol total, dan bagaimana rasanya ketika kendali itu runtuh tiba-tiba.
Mereka mungkin tidak selalu vokal, tapi pengalaman mereka membentuk fondasi penting bagi demokrasi kita hari ini. Kita perlu mendengar cerita mereka, bukan hanya karena sejarah, tapi juga karena mereka menyimpan kunci penting untuk memahami masa depan politik Indonesia.
“Yang tumbuh dalam diam, tak selalu lupa bagaimana rasanya bersuara.”
Baca juga https://dunialuar.id/