, , ,

Jatah Preman: Wajah Lain dari Politik Lokal Kita

oleh -365 Dilihat
politik jatah preman
politik jatah preman
banner 468x60

Kabarpetang.com Di tengah semangat demokratisasi dan desentralisasi yang menguat pascareformasi 1998, Indonesia mengalami transformasi politik yang besar. Namun, di balik geliat politik yang tampak formal dan institusional, terdapat wajah lain yang jarang dibahas secara terbuka namun sangat berpengaruh: praktik jatah preman. Fenomena ini mencerminkan bagaimana kekuasaan informal, intimidasi, dan kekerasan tetap menjadi bagian dari dinamika politik lokal, baik dalam proses distribusi kekuasaan, ekonomi, maupun kontrol sosial.

Apa Itu Jatah Preman dalam Konteks Politik?

Jatah preman, dalam pengertian luas, merujuk pada pola relasi antara kelompok kekuasaan formal seperti pejabat, politisi, atau aparat, dengan aktor-aktor non-negara yang sering disebut sebagai preman. Kelompok ini bisa berbentuk organisasi masyarakat, kelompok bersenjata, hingga individu dengan reputasi kekerasan. Mereka sering dimanfaatkan untuk mengamankan kepentingan politik tertentu, mengintimidasi lawan politik, atau menjaga pengaruh di wilayah tertentu.

banner 336x280

Sebagai imbalannya, kelompok preman ini memperoleh “jatah” berupa akses terhadap proyek, kontrak pengamanan, pengelolaan parkir, hingga pungutan liar yang dibiarkan secara tidak resmi. Relasi semacam ini tidak hanya menciptakan ketergantungan, tetapi juga melanggengkan budaya kekerasan dalam struktur kekuasaan lokal.

Mengapa Jatah Preman Bertahan di Era Demokrasi?

Salah satu ironi besar dalam politik Indonesia adalah bahwa praktik jatah preman justru menemukan ruangnya dalam iklim demokrasi yang terbuka. Desentralisasi memberikan kekuasaan besar kepada kepala daerah, dan dalam banyak kasus, mereka mencari dukungan dari kelompok non-negara untuk mengonsolidasikan pengaruh politik mereka.

Premanisme menjadi alat “efisien” untuk menegakkan kontrol, terutama di daerah yang lemah secara institusional. Ketika aparat penegak hukum tak cukup kuat atau mudah ditundukkan, kekuasaan informal seperti ini tumbuh subur. Dalam hal ini, demokrasi lokal yang tidak sehat justru memperkuat praktik lama yang seharusnya sudah ditinggalkan.

Dinamika Jatah Preman dalam Politik Lokal

Di banyak daerah, jatah preman muncul dalam bentuk yang sangat terstruktur. Misalnya, dalam pelaksanaan proyek pemerintah, kelompok tertentu “diatur” untuk mendapatkan bagian pekerjaan atau fee. Dalam distribusi bantuan sosial, ada kelompok yang ditunjuk secara informal sebagai penyalur atau pengontrol distribusi.

Premanisme juga bisa muncul saat pemilu berlangsung. Intimidasi terhadap tim sukses lawan, penguasaan wilayah TPS, hingga pemaksaan kehendak pada pemilih adalah bagian dari praktik-praktik yang sudah terdeteksi tetapi kerap dibiarkan.

Di sisi lain, jatah preman juga berfungsi sebagai “stabilisator lokal”. Preman kadang dianggap mampu meredam konflik antar kelompok masyarakat, menjaga ketertiban di lingkungan tertentu, atau bahkan menyelesaikan sengketa lahan dengan cara-cara non-yuridis.

Ketika Kekuasaan Formal Membiarkan Kekuasaan Informal

Hubungan antara kekuasaan formal dan preman tidak bisa dilepaskan dari logika patron-klien. Pemegang kekuasaan membutuhkan “tangan-tangan kasar” untuk melanggengkan posisi mereka, sementara para preman mendapatkan legitimasi, perlindungan hukum, dan pemasukan.

Ketika praktik ini berlangsung lama, ia menjadi bagian dari “normalitas baru”. Preman bisa hadir dalam forum-forum resmi, menjalin relasi dengan elite lokal, dan bahkan mencalonkan diri dalam kontestasi politik.

Ini menunjukkan bahwa praktik jatah preman bukan hanya soal kekerasan, tapi juga soal legitimasi. Masyarakat yang terbiasa melihat preman sebagai bagian dari sistem kekuasaan cenderung membiarkan keberadaan mereka tanpa perlawanan berarti.

Dampak Sosial dan Demokrasi yang Terhambat

Keberadaan jatah preman dalam politik lokal memberikan dampak jangka panjang yang serius. Pertama, ia menciptakan ketimpangan akses terhadap kekuasaan dan sumber daya. Masyarakat biasa yang tidak punya relasi dengan kelompok tertentu bisa terpinggirkan dalam proses pembangunan.

Kedua, demokrasi menjadi prosedural semata. Ketika intimidasi dan kekuatan otot menjadi alat politik, maka kualitas demokrasi akan terus merosot. Pemilu hanya menjadi ajang transaksional dan intimidatif, bukan kontestasi gagasan.

Ketiga, budaya hukum dan keadilan terganggu. Negara kehilangan otoritas moral ketika membiarkan atau bahkan memelihara aktor kekerasan untuk bekerja di luar sistem hukum.

Mencari Jalan Keluar: Solusi yang Diperlukan

Mengatasi jatah preman dalam politik lokal bukan perkara mudah. Tapi langkah awalnya harus dimulai dari penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Aparat harus diberdayakan untuk bekerja tanpa intervensi politik. Premanisme hanya bisa ditangani jika negara hadir secara adil dan merata.

Selain itu, pendidikan politik kepada masyarakat penting dilakukan agar rakyat tak lagi mentoleransi kekuasaan berbasis kekerasan. Partisipasi publik yang kuat akan menjadi pengimbang kekuasaan yang sehat.

Terakhir, pembenahan tata kelola pemerintahan lokal harus menjadi prioritas. Transparansi dalam pengadaan proyek, rekrutmen aparat, serta distribusi sumber daya bisa menutup celah masuknya kekuasaan informal dalam struktur pemerintahan.

Kesimpulan

Fenomena jatah preman bukan hanya soal kriminalitas, tetapi merupakan refleksi dari dinamika kekuasaan yang belum sepenuhnya sehat. Politik lokal di banyak daerah masih membuka ruang bagi kekuasaan informal untuk beroperasi, bahkan menjadi bagian dari sistem.

Menghapus praktik ini membutuhkan kerja keras yang menyeluruh, mulai dari pembenahan institusi hukum hingga perubahan budaya politik. Tanpa keseriusan dalam menangani persoalan ini, demokrasi lokal akan terus berada di bawah bayang-bayang kekuasaan informal yang tidak akuntabel.

Baca juga http://angginews.com/

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.