Kasus pencabulan di pondok pesantren kembali mencuat sepanjang tahun 2025. Tak hanya sekali dua kali, tetapi terjadi berulang, terutama di wilayah-wilayah terpencil yang minim pengawasan. Peristiwa ini menimbulkan duka mendalam dan menyulut kemarahan publik karena institusi yang seharusnya menjadi tempat pendidikan agama dan pembentukan karakter justru menjadi tempat berlangsungnya kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: mengapa pelecehan dan pencabulan bisa marak di lingkungan yang dianggap suci dan penuh kepercayaan seperti pesantren?
1. Struktur Kekuasaan yang Absolut dan Tertutup
Salah satu penyebab utama adalah struktur kekuasaan yang sangat sentralistik di banyak pondok pesantren. Kyai atau pimpinan pesantren sering kali dipandang sebagai figur yang tidak bisa dibantah, bahkan cenderung disakralkan. Dalam kondisi seperti ini, terjadi relasi kuasa yang timpang antara pengasuh dan santri.
Bila seorang kyai atau ustaz melakukan pelanggaran, para korban atau keluarganya sering kali takut berbicara karena khawatir dianggap menentang ulama atau bahkan menghina agama. Hal ini diperparah dengan minimnya akses ke lembaga hukum di daerah terpencil, membuat kasus-kasus seperti ini banyak yang disembunyikan atau diselesaikan secara “kekeluargaan”.
2. Kurangnya Pengawasan Eksternal
Pesantren, terutama yang berada di daerah pelosok, umumnya memiliki sistem internal yang mandiri. Mereka tidak selalu tunduk pada kurikulum nasional atau pengawasan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Banyak dari mereka hanya berafiliasi dengan Kementerian Agama, dan meskipun ada regulasi, implementasi pengawasan di lapangan sangat lemah.
Minimnya kunjungan dari pihak luar atau pengawas independen menciptakan kondisi yang rawan akan praktik-praktik kekerasan dan pelecehan yang tertutup rapat. Bahkan dalam beberapa kasus, masyarakat sekitar pun enggan mencampuri urusan dalam pesantren.
3. Ketertutupan Informasi di Daerah Terpencil
Akses informasi yang terbatas di daerah-daerah terpencil membuat masyarakat setempat tidak selalu paham mengenai apa yang termasuk kekerasan seksual atau pelecehan. Budaya patriarkal dan tafsir agama yang sempit kadang memperburuk keadaan, misalnya dengan menyalahkan korban atau menganggap wajar tindakan pelaku yang memiliki “kedudukan” agama tinggi.
Dalam beberapa kasus, bahkan korban diminta untuk tidak mempermalukan nama baik pesantren dan menyelesaikan masalah secara diam-diam. Alih-alih mendapatkan keadilan, korban justru dikucilkan atau dikeluarkan dari pondok.
4. Ketiadaan Mekanisme Pengaduan yang Aman
Sebagian besar pesantren tidak memiliki mekanisme pelaporan yang aman dan independen bagi santri. Bila seorang anak mengalami pelecehan, ia tak tahu harus melapor ke siapa, terutama jika pelakunya adalah guru atau bahkan pengasuh utama.
Ketakutan akan tidak dipercaya atau bahkan dibalas secara fisik maupun sosial membuat banyak korban memilih diam. Belum lagi trauma yang mereka alami, yang sering kali tidak mendapatkan penanganan psikologis yang memadai.
5. Minimnya Edukasi Seksual dan Kesadaran Hak Anak
Topik tentang seksualitas masih dianggap tabu, bahkan dihapuskan dari banyak kurikulum pendidikan di pesantren. Ini menciptakan kekosongan pemahaman yang sangat berbahaya, terutama bagi anak-anak dan remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan dan sangat rentan terhadap manipulasi.
Akibatnya, santri yang dilecehkan bisa saja tidak sadar bahwa ia sedang menjadi korban. Ia tidak tahu bahwa tindakan yang dialaminya merupakan bentuk kekerasan seksual. Hal ini memperkuat dominasi pelaku atas korban.
6. Lemahnya Penegakan Hukum dan Sanksi Sosial
Ketika kasus pencabulan terungkap, banyak yang tidak sampai ke meja hijau karena tekanan dari tokoh masyarakat atau tokoh agama setempat. Bahkan jika pelaku ditangkap, proses hukumnya sering kali berlarut-larut dan akhirnya menguap begitu saja.
Tak sedikit pula kasus yang sengaja “diredam” demi menjaga nama baik lembaga. Situasi ini memberi pesan bahwa pelaku bisa lolos dari konsekuensi, sementara korban harus menanggung beban seumur hidup.
7. Peran Media dan Aktivisme Sosial
Meningkatnya laporan kasus di tahun 2025 juga tak lepas dari meningkatnya peran media sosial dan aktivisme dari masyarakat sipil. Platform digital membuka ruang bagi korban untuk bersuara dan mendapatkan dukungan. Beberapa kasus besar yang viral akhirnya memicu pemerintah dan pihak berwenang untuk turun tangan secara serius.
Namun demikian, belum semua korban berani muncul ke publik, dan banyak kasus masih tersembunyi di balik tembok pesantren yang kokoh oleh budaya diam.
Solusi dan Rekomendasi
Untuk mencegah kasus-kasus serupa terus berulang, dibutuhkan pendekatan komprehensif dari berbagai pihak:
- Regulasi dan Pengawasan Ketat
Pemerintah harus menerapkan sistem akreditasi dan pengawasan berkala terhadap semua pondok pesantren, terutama yang berada di daerah terpencil. - Pendidikan Hak Anak dan Edukasi Seksual
Materi tentang perlindungan anak, batasan tubuh, dan edukasi seksual berbasis agama harus dimasukkan dalam kurikulum pesantren. - Mekanisme Pengaduan Independen
Harus tersedia saluran pelaporan yang aman, bisa diakses secara anonim, dan tidak berada di bawah kendali pesantren itu sendiri. - Pelatihan untuk Pengasuh dan Santri
Pengasuh perlu diberikan pelatihan mengenai etika pengasuhan, hukum perlindungan anak, dan cara menangani laporan kekerasan seksual. - Keterlibatan Masyarakat dan Orang Tua
Komite pesantren atau lembaga pengawas harus melibatkan orang tua dan masyarakat sebagai mitra aktif dalam pengawasan dan evaluasi.
Penutup
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan penting dalam membentuk karakter generasi bangsa. Namun, tanpa pengawasan, transparansi, dan edukasi yang memadai, lembaga ini bisa menjadi tempat subur bagi kekerasan yang dibungkus kesucian.
Maraknya kasus pencabulan di pesantren pada 2025 harus menjadi momen refleksi nasional. Melindungi anak-anak adalah tanggung jawab bersama. Suara mereka harus didengar, dan pelaku harus dihukum seadil-adilnya, tanpa kompromi.
baca lainnya : bahaya asap pembakaran sampah untuk alam manusia