, , ,

Mobil Kecil, Pajak Besar? Ketimpangan Aturan Pajak Kendaraan Pribadi

oleh -135 Dilihat
pajak mobil pribadi
pajak mobil pribadi
banner 468x60

https://kabarpetang.com/ Bayangkan seseorang membeli mobil kecil berkapasitas mesin 1.000 cc sebagai solusi transportasi hemat dan ramah lingkungan. Namun, ketika tagihan pajak tahunan datang, jumlahnya nyaris menyamai atau bahkan lebih tinggi dari mobil mewah yang digunakan segelintir kalangan elite. Ada apa dengan sistem pajak kendaraan kita?

Fenomena ini tidak hanya membuat bingung, tapi juga menimbulkan pertanyaan serius soal keadilan fiskal dan sosial dalam kebijakan pajak kendaraan bermotor. Apakah sistem pajak saat ini benar-benar adil bagi semua lapisan masyarakat?

banner 336x280

Pajak Kendaraan Bermotor: Bagaimana Sistemnya Bekerja?

Di Indonesia, pajak kendaraan bermotor (PKB) terdiri dari dua jenis utama:

  1. PKB Tahunan – dibayarkan setiap tahun berdasarkan nilai jual kendaraan (NJKB) dan dikalikan dengan persentase tertentu (biasanya 1% untuk kepemilikan pribadi pertama).
  2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) – dibayarkan saat kendaraan pertama kali dibeli atau berpindah kepemilikan.

Pajak juga bisa dikenakan berdasarkan kapasitas mesin (cc), usia kendaraan, dan dalam beberapa daerah, jenis bahan bakar dan tingkat emisi. Namun, sistem ini kerap kali tidak sinkron dengan realitas sosial dan perkembangan kendaraan masa kini.


Ketimpangan yang Terjadi

1. Mobil Kecil, Beban Besar

Mobil kecil, meskipun berharga lebih murah dan irit bahan bakar, kadang justru dikenai pajak lebih tinggi karena aturan pajak yang berbasis persentase dari NJKB ditambah tarif tambahan lain, seperti pajak progresif kepemilikan ke-2 atau tambahan dari kebijakan daerah.

Sebagai contoh:

  • Mobil LCGC (Low Cost Green Car) seperti Ayla/Agya 1.0L bisa memiliki NJKB mendekati mobil bekas 2.0L, karena sistem belum memperhitungkan efisiensi atau kontribusi lingkungan.
  • Di daerah tertentu, mobil kecil pun dikenai tarif tambahan berdasarkan kategori mesin, tanpa memperhatikan dampak emisinya.

2. Mobil Mewah Bisa “Lolos”

Sementara itu, mobil mewah tahun lama, terutama yang sudah mengalami depresiasi NJKB cukup besar, bisa memiliki nilai pajak tahunan yang lebih ringan dibanding mobil kecil baru.

Ini menciptakan ketimpangan: yang mampu membeli mobil besar, justru bisa bayar lebih murah, karena sistem hanya menilai nilai pasar, bukan efisiensi atau dampak sosial.

3. Kendaraan Listrik Masih Belum Merata Insentifnya

Mobil listrik memang mendapatkan insentif pajak di beberapa provinsi, namun tidak semua daerah menerapkan hal yang sama. Bahkan, sebagian pemilik mobil listrik masih dikenai pajak sesuai NJKB awal yang masih tinggi, meski pemakaian BBM-nya nol.


Dimana Letak Masalahnya?

Masalah utama terletak pada ketidaksesuaian parameter penilaian pajak dengan prinsip keadilan sosial dan lingkungan:

  • NJKB tidak selalu mencerminkan kemampuan bayar pemilik.
    Orang dengan pendapatan pas-pasan yang membeli mobil kecil untuk kebutuhan sehari-hari bisa terbebani pajak lebih tinggi dibanding pemilik mobil mewah tua yang sebenarnya lebih mampu.
  • Belum ada sistem pajak berbasis dampak lingkungan.
    Negara maju mulai mengadopsi sistem pajak berdasarkan emisi CO₂ atau konsumsi BBM. Di Indonesia, ini masih belum sepenuhnya berjalan efektif.
  • Pajak progresif belum didukung sistem data kepemilikan yang akurat.
    Banyak orang mengatasnamakan anggota keluarga lain untuk menghindari progresifitas pajak kendaraan kedua, sehingga aturan ini sering tidak efektif.

Apa yang Bisa Diperbaiki?

1. Reformasi Basis Pajak Kendaraan

Alih-alih berbasis NJKB semata, pertimbangkan juga:

  • Kapasitas mesin (dengan ketentuan yang adil)
  • Konsumsi BBM per kilometer
  • Tingkat emisi kendaraan
  • Jenis energi (BBM, listrik, hybrid)
  • Frekuensi penggunaan kendaraan (berbasis data telematika?)

2. Insentif untuk Kendaraan Ramah Lingkungan

Mobil kecil, irit BBM, dan mobil listrik seharusnya dapat insentif pajak, bukan dikenai tarif tinggi karena nilai pasar atau penilaian lama.

3. Sinkronisasi Data Nasional

Diperlukan sistem data kendaraan dan pemilik yang terintegrasi nasional agar pajak progresif benar-benar diterapkan adil. Termasuk menghindari “penyiasatan” atas nama orang lain.

4. Pajak Berdasarkan Kategori Sosial-Ekonomi

Meski terdengar sulit, tapi pendekatan berdasarkan kemampuan bayar sudah mulai diuji coba di beberapa negara (misalnya Norwegia dan Jerman). Di Indonesia, hal ini bisa diadaptasi bertahap lewat klasifikasi jenis kendaraan yang dikaitkan dengan kategori subsidi atau insentif.


Apa Kata Publik?

Di media sosial, topik pajak kendaraan sering menjadi bahan keluhan warganet:

“Mobil kecil, tapi pajaknya kaya mobil boss.”
“Mobil mahal tua, tapi pajaknya malah ringan. Gak adil.”
“Udah niat hemat pakai LCGC, tetap aja kena pajak progresif.”

Sentimen ini menunjukkan bahwa kesadaran publik akan ketimpangan pajak kendaraan makin meningkat, dan menuntut reformasi sistem.


Penutup: Perlukah Kita Khawatir?

Sistem pajak kendaraan pribadi di Indonesia memang belum sempurna. Ketika niat memiliki kendaraan hemat dan efisien justru dibebani tarif tinggi, masyarakat akan terdorong ke arah yang berlawanan: membeli kendaraan bekas besar, yang pajaknya lebih ringan tapi lebih boros dan mencemari lingkungan.

Jika sistem tidak segera diperbaiki, kita bukan hanya menghadapi ketidakadilan fiskal, tetapi juga ancaman terhadap kualitas udara, kemacetan, dan akses mobilitas yang setara.

Saat pajak tidak berpihak pada rakyat kecil, mobilitas pribadi berubah menjadi beban, bukan solusi.

Baca juga https://angginews.com/

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.